Minggu, 16 November 2025

Bentuk Sistem Sosial dan Peran Gender Suku Bugis

Sistem Sosial dan Peran Gender Suku Bugis
Harmoni, Kehormatan, dan Keseimbangan Hidup

Di tanah Sulawesi Selatan yang subur dan penuh warna, Suku Bugis mengukir sejarah bukan hanya melalui ketangguhan pelautnya atau kejayaan kerajaan-kerajaannya, tetapi juga melalui sistem sosial yang kaya makna. Dalam keseharian, masyarakat Bugis tidak pernah sekadar mengelompokkan manusia berdasarkan garis keturunan atau status sosial; mereka membangun jaringan nilai yang menyeimbangkan martabat, rasa hormat, dan tanggung jawab.

Bagi Bugis, hidup adalah seni menjaga keseimbangan: antara individu dan komunitas, antara laki-laki dan perempuan, antara manusia dan alam, bahkan antara dunia jasmani dan rohani.

1. Struktur Sosial: Hierarki yang Tegas namun Berjiwa Lembut
Secara tradisional, masyarakat Bugis mengenal tiga lapisan utama:

  • Ana’ Arung (bangsawan): pemegang wibawa adat, penjaga kerajaan, simbol keturunan mulia.
  • To Maradeka (rakyat bebas): petani, pedagang, nelayan, dan masyarakat umum yang memegang hak penuh sebagai warga merdeka.
  • Ata (hamba): mereka yang bekerja di bawah perlindungan bangsawan namun tetap dihargai sebagai anggota masyarakat.
Meski tampak hierarkis, struktur ini tidak menciptakan penindasan. Justru, ia diikat oleh nilai siri’ kehormatan diri dan keluarga yang berlaku untuk setiap manusia tanpa memandang status.

Seorang Bugis rela kehilangan harta, tetapi tidak rela kehilangan siri’. Siri’ adalah napas kehidupan; sekali rusak, martabat runtuh baik di mata masyarakat maupun di hadapan leluhur. Karena itu, sistem sosial Bugis membentuk masyarakat yang disiplin, menghargai orang lain, dan menyadari tanggung jawab masing-masing. Kehormatan bukan diwariskan, tetapi dibuktikan melalui perilaku.

2. Peran Gender: Keselarasan Tugas antara Laki-Laki dan Perempuan
Salah satu sisi terindah budaya Bugis terletak pada cara mereka memahami gender. Dalam masyarakat yang menjunjung siri’, perempuan memiliki kedudukan yang sangat terhormat.

Ungkapan “Makassaraé ri alebbirenna” menegaskan perempuan sebagai tulang punggung kehidupan. Ia bukan sekadar pengurus rumah, tetapi penjaga moral, pengelola ekonomi keluarga, dan penentu arah keharmonisan. Dalam banyak keluarga, suara perempuan memiliki bobot penting dalam pengambilan keputusan, terutama terkait kehormatan keluarga.

Laki-laki Bugis dikenal sebagai warani - berani, tegas, dan bertanggung jawab. Mereka dididik untuk menjadi pelindung keluarga dan pembela siri’. Namun keberanian ini bukan kekerasan; ia harus diimbangi kelembutan hati, kebijaksanaan, dan kesetiaan.

Prinsip masyarakat Bugis jelas:
Reso temmangingngi namalomo naletei Pammase Dewata
(Kerja keras yang tak kenal menyerah akan mendapatkan pertolongan Tuhan.)

Peran laki-laki dan perempuan tidak saling menindas, tetapi saling menguatkan, membentuk rumah tangga dan masyarakat yang harmonis serta penuh solidaritas.

3. Lima Gender: Kearifan Budaya yang Melampaui Zamannya
Salah satu aspek paling progresif dalam budaya Bugis adalah pengakuan terhadap lima gender, jauh sebelum dunia modern memperdebatkannya. Kelima peran ini bukan sekadar kategori biologis, tetapi identitas sosial dan spiritual:

  • Oroané - laki-laki yang menjalankan peran maskulin secara tradisional.
  • Makunrai - perempuan yang menjalankan peran feminin.
  • Calalai - perempuan yang menjalankan peran sosial laki-laki.
  • Calabai - laki-laki yang menjalankan peran sosial perempuan.
  • Bissu - figur spiritual yang menggabungkan unsur maskulin dan feminin, dianggap suci dan menjadi penjaga keseimbangan kosmos.
Bissu memegang peranan istimewa dalam pelaksanaan upacara adat dan ritual kerajaan. Mereka adalah penjaga pusaka, pembawa doa, dan penghubung antara dunia manusia dan dunia roh. Kehadiran mereka menunjukkan bahwa Bugis menghormati keberagaman peran gender sejak berabad-abad lalu.

4. Nilai Sosial: Siri’ na Pacce sebagai Fondasi dan Pengikat Kehidupan
Tidak ada nilai yang lebih kuat mengikat masyarakat Bugis selain Siri’ na Pacce:

  • Siri’ menjaga kehormatan diri dan keluarga.
  • Pacce (pesse) menumbuhkan empati, rasa peduli, dan solidaritas.
Keduanya menjadi pedoman dalam gotong royong (massolong), solidaritas desa, kerja sama keluarga, hingga penyelesaian konflik.

Melalui nilai inilah masyarakat Bugis dikenal:
  • kompak dalam kebersamaan,
  • sigap menolong sesama,
  • setia menjaga nama baik kampung halaman,
  • dan memiliki rasa sosial yang sangat tinggi.
5. Harmoni antara Martabat dan Kemanusiaan
Sistem sosial dan peran gender Bugis pada dasarnya adalah cermin kebijaksanaan dalam menjalani hidup:
  • Menjaga kehormatan tanpa merendahkan orang lain.
  • Berani dan kuat, tetapi tetap lembut dan bijaksana.
  • Menjunjung tanggung jawab sosial tanpa mengabaikan hak individu.
  • Menghargai keragaman identitas sebagai bagian dari kehendak Tuhan.
Dalam dunia modern, warisan nilai ini tetap relevan. Bugis mengajarkan bahwa kehormatan sejati tidak ditentukan oleh status sosial, gender, atau jabatan, tetapi oleh kemampuan menjaga siri’ na pacce dalam setiap tindakan.

Suku Bugis menegaskan bahwa masyarakat yang harmonis lahir dari keseimbangan antara martabat, kasih sayang, keberanian, dan kebijaksanaan. Dari struktur sosial yang tertata hingga pengakuan terhadap lima gender, dari peran perempuan yang kuat hingga prinsip siri’ na pacce yang menjadi denyut nadi kehidupan semuanya membentuk identitas Bugis yang agung dan tetap bertahan melintasi zaman.

Admin : Andi Ratna

    Bagikan ke Media Sosial :