Jika laut adalah rahim bagi kehidupan, maka Suku Bugis adalah anak-anaknya: lahir dari ombak, tumbuh oleh angin, dan dibesarkan oleh semangat pengembaraan. Sejak berabad-abad silam, nama Bugis identik dengan pelaut tangguh, berani, ulet, dan penuh petualangan. Layar yang berkibar, ombak yang menggulung, serta bintang yang menuntun arah telah menjadi sahabat setia dalam perjalanan panjang mereka merajut cerita di Nusantara bahkan Asia Tenggara.
Di balik setiap perahu Pinisi yang menembus cakrawala, tersimpan kisah keberanian dan kearifan hidup yang membentuk Bugis sebagai salah satu peradaban maritim terbesar di dunia.
1. Laut: Nadi, Sekolah, dan Rumah Orang Bugis
Bagi orang Bugis, laut bukan sekadar bentangan air asin, tetapi ruang hidup yang menyatu dengan denyut nadi mereka. Laut adalah sumber nafkah, jalur perdagangan, panggung petualangan, sekaligus cermin jati diri.
Anak-anak Bugis tumbuh dengan aroma asin angin laut, suara perahu yang berderit di pelabuhan, dan cerita para pelaut yang pulang dari negeri jauh. Sejak dini mereka belajar membaca arah angin, memaknai bentuk awan, dan merasakan perubahan arus ilmu alam yang diwariskan tanpa buku, tetapi melalui ketelatenan dan pengalaman.
Falsafah “reso temmangingngi, namalomo naletei pammase Dewata”
(kerja keras yang tak mengenal menyerah akan membawa rahmat Tuhan)
menjadi kompas batin mereka melawan badai nasib dan gelombang kehidupan.
Sebelum berlayar, para pelaut memanjatkan doa kepada To ri Langi’, menyiapkan sesajen sederhana, dan meminta restu keluarga. Bagi mereka, laut bukan hanya ruang untuk ditaklukkan, melainkan guru yang harus dihormati.
2. Pinisi: Mahakarya yang Mengarungi Dunia
Pinisi adalah puncak kreativitas, teknologi, dan estetika Bugis-Makassar. Kapal layar dua tiang ini bukan hanya alat transportasi, melainkan simbol kecermatan teknik, harmoni alam, dan spiritualitas.
Pembuatan Pinisi dilakukan oleh panrita lopi (maestro pembuat kapal) yang percaya bahwa perahu memiliki jiwa. Setiap balok kayu dipilih dengan cermat, setiap ruas diikat dengan doa, dan ritual adat mengiringi dari awal hingga kapal diluncurkan ke laut.
Pinisi telah membawa pelaut Bugis:
- berdagang ke Maluku dan Papua,
- membuka jalur ke Kalimantan dan Selat Makassar,
- hingga melintasi semenanjung Malaya dan pesisir Australia.
Pada 2017, UNESCO menetapkan tradisi pembuatan Pinisi sebagai Warisan Budaya Takbenda Dunia, sebuah pengakuan global atas kecerdasan maritim orang Bugis.
3. Diaspora Bugis: Melintas Ombak, Mengakar di Dunia Baru
Sejarah mencatat gelombang diaspora Bugis sejak abad ke-16 hingga ke-19. Konflik politik antar-kerajaan membuat banyak orang Bugis berlayar bukan untuk melarikan diri, tetapi untuk membangun ruang hidup baru.
Mereka menyebar ke:
Kalimantan, Sumatera, Riau, Jawa, Nusa Tenggara, Malaysia, Brunei, hingga Thailand Selatan.
Di setiap tempat yang mereka datangi, orang Bugis dikenal bukan sebagai pendatang, tetapi sebagai pembawa energi baru pekerja keras, pedagang ulung, diplomat, dan pemimpin komunitas.
Contoh paling terkenal adalah Lima Saudara Bugis: Daeng Parani, Daeng Marewa, Daeng Menambun, dan tiga saudaranya lain, yang memainkan peran besar dalam sejarah Kesultanan Johor-Riau. Jejak Bugis tetap kuat pula di Pattani, Selangor, Sambas, dan Kutai.
Dimana pun mereka berlabuh, tiga nilai utama tetap menjadi jangkar kehidupan:
- siri’ - kehormatan,
- lempu’ - kejujuran,
- getteng - keteguhan hati.
4. Laut dalam Budaya, Ritual, dan Sastra Bugis
Laut tidak hanya mempengaruhi kehidupan ekonomi, tetapi juga seni, ritual, dan sastra Bugis. Dalam elong (lagu rakyat), laut digambarkan sebagai ibu yang lembut sekaligus penguji keberanian manusia.
Ritual mappalili’, yang dilakukan menjelang masa tanam atau sebelum melaut, melambangkan hubungan harmonis antara manusia, tanah, air, dan Yang Maha Kuasa. Dalam epos I La Galigo, tokoh-tokohnya kerap lahir dari laut, berlayar jauh, atau menemukan makna hidup melalui perjalanan maritim. Laut menjadi metafora eksistensial: tempat manusia diuji, ditempa, dan akhirnya menemukan dirinya.
Simbol-simbol bahari juga hadir dalam:
- ukiran rumah adat,
- motif kain dan ornamen,
- cerita rakyat dan nyanyian pengantar tidur.
5. Spirit Maritim Orang Bugis di Era Modern
Walaupun banyak orang Bugis modern hidup jauh dari laut, semangat baharinya tetap berdenyut dalam karakter mereka: berani merantau, pekerja keras, cepat beradaptasi, dan tangguh menghadapi tantangan.
Ke mana pun mereka pergi Jakarta, Kalimantan, Papua, Malaysia, bahkan Eropa nama Bugis identik dengan keberanian, keuletan, kemampuan berdagang, dan kepemimpinan. Laut mungkin telah digantikan jalan raya, pesawat, dan dunia digital, tetapi spirit perantau Bugis tak pernah padam.
6. Ombak yang Tak Pernah Lelah Berbisik
Kisah maritim dan diaspora Bugis adalah cerita manusia yang menolak dibatasi daratan. Dari pesisir Bone hingga Johor, dari Wajo hingga Pattani, layar Bugis selalu dikibarkan dengan prinsip siri’ na pacce dan semangat reso temmangingngi.
Sampai hari ini, ketika matahari tenggelam di Teluk Bone dan angin membawa aroma laut, ombak seakan menyampaikan pesan leluhur:
“Berlayarlah sejauh layar bisa terkembang.
Laut bukan untuk ditakuti; di sanalah jati dirimu menunggu untuk ditemukan.”
Dan di antara angin, ombak, dan bintang-bintang, jiwa Bugis tetap hidup teguh, berani, dan penuh hormat.
Admin : Andi Sulis
.jpg)
.jpg)





