Minggu, 16 November 2025

Kerajaan Bone - Kehormatan dan Jantung Peradaban Bugis

Kerajaan Bone
Kemegahan, Kehormatan, dan Jantung Peradaban Bugis

Di antara gelombang yang berbisik di pesisir Teluk Bone dan hamparan daratan yang subur di Sulawesi Selatan, berdiri sebuah kerajaan yang namanya terpahat kuat dalam ingatan sejarah Bugis: Kerajaan Bone. Bagi masyarakat Bugis, Bone bukan hanya sebuah entitas politik atau pusat pemerintahan. Ia adalah simbol kehormatan, kecerdikan strategi, serta keteguhan hati. Bone hidup sebagai legenda yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya, bukan karena peperangannya semata, tetapi karena nilai-nilai luhur yang membentuk jati diri To Ugi.

Bone digambarkan sebagai negeri yang teguh dan tidak mudah tunduk, sebuah kerajaan yang mengikat seluruh sendi kehidupannya pada satu prinsip paling sakral: Siri’ nilai kehormatan yang menghidupkan keberanian, kejujuran, dan martabat.

Awal Kelahiran Bone: Dari Komunitas Kecil Menuju Negeri Berdaulat
Akar sejarah Bone bermula pada sekitar abad ke-14 Masehi. Pada masa itu, masyarakat Bugis hidup dalam kelompok kecil bernama wanua, sebuah komunitas adat yang berdiri sendiri dan dipimpin oleh tetua masing-masing. Komunitas-komunitas ini tersebar di kawasan pesisir Teluk Bone, dan meski mandiri, mereka dihadapkan pada kebutuhan yang semakin mendesak: menjaga kedamaian, mengatur hubungan sosial, dan membangun kekuatan bersama.

Lahirnya Bone tidak hanya bermula dari musyawarah antarwanua, tetapi juga dipenuhi unsur spiritual. Para tetua adat mengisahkan kemunculan Manurungnge ri Matajang, seorang pemimpin yang diyakini turun dari langit atau muncul dari tempat sakral. Dalam tradisi Bugis, konsep manurung memberi legitimasi ilahiah kepada seorang raja. Dari legenda itulah, Bone memulai sejarahnya sebagai kerajaan yang diakui, dihormati, dan memiliki fondasi adat yang kokoh.

Tata Pemerintahan dan Pangadereng: Pilar Keseimbangan Sosial
Keistimewaan Bone tidak semata-mata terletak pada keberanian para panglimanya, tetapi pada sistem pemerintahannya yang matang. Masyarakat Bone hidup menurut falsafah Pangadereng, lima pilar yang membentuk tatanan kehidupan:

  • Ade’ - hukum dan aturan adat
  • Bicara - sistem peradilan dan keputusan hukum
  • Rapang - preseden dan pedoman berdasarkan perumpamaan
  • Wari’ - struktur sosial dan hubungan kekerabatan
  • Sara’ - ajaran agama yang menjadi pedoman spiritual
Kekuasaan raja (Arung) tidak bersifat sewenang-wenang. Ia adalah penjaga adat, penyeimbang, dan pelindung rakyat. Ia mendengarkan nasihat dari bangsawan (Arung), para penjaga adat (Ade’), serta rakyat biasa (To Marilaleng). Pola kekuasaan seperti ini menjadikan Bone stabil, tegas, dan dihormati, karena seluruh keputusan berpijak pada nilai sosial, bukan ambisi pribadi.

Arung Palakka dan Masa Keemasan Bone
Keemasan Bone mencapai puncaknya pada abad ke-17 melalui sosok yang hingga kini dikenang sebagai ikon keberanian: La Tenritatta Arung Palakka, raja ke-15 Bone. Namanya bersinar sebagai tokoh strategis dan pemimpin yang paham betul kapan harus melangkah, kapan harus bersekutu, dan bagaimana harus bertahan.

Sebelum masa kejayaannya, Bone berada di bawah tekanan Kerajaan Gowa-Tallo. Namun keterpurukan itu justru menjadi awal cerita kebangkitan. Arung Palakka muda melarikan diri ke Buton, kemudian ke Batavia, dan menjalin aliansi strategis dengan VOC. Keputusan politiknya meski rumit dan masih diperdebatkan sejarah membawa Bone meraih kembali kehormatannya.

Dalam Perang Makassar (1666–1669), Arung Palakka menjadi poros penting kemenangan pasukan sekutu melawan Gowa-Tallo. Kemenangan itu tidak hanya membebaskan Bone dari penaklukan, tetapi juga menempatkannya sebagai kerajaan paling berpengaruh di Sulawesi Selatan. Bone menegaskan diri sebagai kekuatan politik yang tegas namun tetap menjunjung perdamaian antar saudara.

Bone Sebagai Pusat Kebudayaan dan Warisan Intelektual
Di masa jayanya, Bone bukan sekadar pusat pemerintahan, tetapi juga jantung kebudayaan Bugis. Istana Saoraja berdiri anggun sebagai simbol kemegahan arsitektur tradisional. Seni ukir, tenun sutra, musik tradisional, hingga ritual-ritual adat berkembang menjadi identitas budaya yang diwariskan hingga sekarang.

Salah satu kontribusi terbesar Bone adalah perannya dalam pengembangan dan pelestarian Lontara’, sistem tulisan khas Bugis-Makassar. Melalui Lontara’, sejarah, hukum adat, silsilah, hingga sastra Bugis tercatat rapi. Bone menjadi pusat pembelajaran kepemimpinan, etika politik, dan strategi diplomasi menjadikannya ibarat “universitas adat Bugis”.

Islamisasi: Harmoni antara Adat dan Agama
Masuknya Islam ke Bone pada abad ke-17 menandai babak baru dalam peradaban Bugis. Raja ke-13, La Tenrirawe Bongkange, menjadi penguasa pertama yang memeluk Islam. Sejak saat itu, adat Bugis tidak ditinggalkan, melainkan menyatu dengan ajaran agama dalam falsafah Ade’ na Sara’ adat dan syariat berjalan berdampingan.

Masjid-masjid dibangun di pusat kerajaan, pendidikan agama diperkenalkan, dan kehidupan sosial beradaptasi tanpa memudarkan identitas budaya Bugis. Harmoni ini membuat Bone tumbuh sebagai kerajaan religius yang tetap memegang teguh nilai leluhur.

Tantangan Kolonial dan Semangat yang Tak Pernah Padam
Pada abad ke-18 dan ke-19, tekanan kolonial Belanda semakin terasa di Sulawesi Selatan. Meskipun Bone sebelumnya bersekutu dengan VOC, hubungan itu lambat laun berkembang menjadi kendali politik yang menyusahkan.

Namun rakyat Bone dikenal teguh dan tidak mudah tunduk. Nilai Siri’ selalu menjadi pendorong perlawanan untuk menjaga harga diri dan kedaulatan. Dalam masa-masa sulit itu, Bone tetap berusaha mempertahankan martabat dan identitasnya hingga akhirnya memasuki masa Indonesia merdeka.

Warisan Bone: Nilai-Nilai yang Tetap Hidup
Hari ini, jejak kejayaan Bone tidak hanya terlihat pada bangunan bersejarah seperti Saoraja Watampone, tetapi juga hidup dalam adat, bahasa, dan sikap masyarakatnya. Upacara adat, perayaan budaya, serta kisah para leluhur terus diwariskan sebagai pengingat bahwa Bone pernah berjaya sebagai tiang utama peradaban Bugis.

Warisan terbesar Bone bukanlah wilayah atau kekuasaan, melainkan falsafah hidup:
“Lebih baik mati dalam kehormatan, daripada hidup tanpa Siri’.”

Nilai inilah yang membuat Bone dihormati sebagai kerajaan yang menjunjung martabat, keadilan, dan tanggung jawab sosial di atas segalanya.

Penutup: Bone, Jiwa Peradaban Bugis
Kerajaan Bone bukan hanya bagian dari cerita sejarah, tetapi juga cermin kemuliaan masyarakat Bugis. Dari awal berdirinya yang sarat spiritualitas, sistem pemerintahannya yang berlandaskan adat, kejayaan masa Arung Palakka, hingga perjuangan menghadapi kolonialisme semuanya menggambarkan sebuah peradaban yang kokoh, bermartabat, dan penuh kebijaksanaan.

Bone bukan hanya kerajaan besar, tetapi roh yang menghidupkan identitas Bugis, tempat kehormatan dijunjung, keadilan ditegakkan, dan nilai kemanusiaan dijaga.

Admin : Andi Fatimah

    Bagikan ke Media Sosial :