Minggu, 16 November 2025

Sejarah Bahasa dan Sastra Bugis dalam Warisan Intelektual

Bahasa dan Sastra Bugis: 
Jiwa, Kehormatan, dan Warisan Intelektual

Bahasa bukan sekadar rangkaian bunyi; ia adalah napas peradaban. Melalui bahasa, manusia menyampaikan pikiran, melukiskan perasaan, dan mewariskan identitas. Bagi Suku Bugis, bahasa memegang kedudukan yang jauh lebih dalam. Ia adalah pusat kebudayaan penjaga martabat, penuntun budi, sekaligus tali yang menghubungkan generasi masa kini dengan kebijaksanaan leluhur.

Setiap kata yang terucap dalam Basa Ugi memuat nilai, pesan, dan etika. Tutur yang lembut namun tegas mencerminkan falsafah hidup: menjadi manusia yang beradab, menjaga siri’, dan menjunjung rasa empati dalam kehidupan sehari-hari.

1. Keindahan dan Kedalaman Bahasa Bugis
Bahasa Bugis (Basa Ugi) merupakan bagian dari rumpun Austronesia, salah satu rumpun bahasa tertua yang menyebar dari Asia Tenggara hingga Pasifik. Bahasa ini dituturkan jutaan orang di Bone, Wajo, Soppeng, Sidrap, Pinrang, Barru, Sinjai, dan berbagai wilayah Sulawesi Selatan lainnya.

Ciri khas bahasa Bugis terletak pada kesantunan tutur dan etika berbicara yang tinggi. Dalam budaya Bugis, berbicara bukan sekadar bertukar kata melainkan menjaga wibawa diri dan menghormati lawan bicara. Konsep tattanging (kesopanan) dan siri’ (kehormatan) melekat kuat dalam setiap pilihan kata. Seni berbicara yang disebut mappasitinaja menuntut seseorang untuk bertutur dengan halus, jelas, dan penuh penghargaan.

Bahasa Bugis juga mengenal tingkatan tutur, yang membedakan percakapan untuk teman sebaya dengan bahasa yang digunakan kepada orang tua, pemuka adat, atau tokoh masyarakat (basa to rilangi). Penguasaan tata bahasa bukan hanya menunjukkan kecerdasan, tetapi juga martabat seseorang.

2. Aksara Lontara: Jejak Kecerdasan dan Tradisi Literasi Kuno
Salah satu puncak kebanggaan Bugis terletak pada aksara Lontara, sistem tulisan kuno yang menjadi bukti kemajuan ilmu pengetahuan dalam masyarakat Bugis-Makassar. Lontara ditulis di atas daun lontar menggunakan pisau kecil (kallang), kemudian dipertegas dengan jelaga agar huruf-hurufnya terlihat lebih jelas.

Aksara ini tidak hanya berfungsi sebagai alat tulis, tetapi juga simbol kejayaan intelektual. Melalui Lontara, leluhur Bugis mencatat:
  • sejarah kerajaan dan silsilah bangsawan,
  • hukum adat dan aturan sosial,
  • perjanjian diplomatik,
  • hingga karya sastra yang memuat nilai filosofis dan spiritual.
Aksara Lontara juga dikenal oleh suku Makassar dan Mandar dengan variasi visual masing-masing, mencerminkan jalinan interaksi budaya yang terjalin selama berabad-abad di wilayah Sulawesi Selatan.

3. Sastra Bugis: Hikmah dalam Kata, Nilai dalam Cerita
Sastra Bugis menawarkan warisan intelektual yang kaya, mulai dari puisi liris hingga epos agung yang mendunia. Yang paling monumental adalah Sureq I La Galigo, karya raksasa yang telah diakui UNESCO sebagai Memory of the World.

Epos ini menceritakan perjalanan Sawerigading tokoh dari Kerajaan Luwu yang melakukan pengembaraan penuh cinta, petualangan, dan kehormatan. Dengan ribuan halaman, La Galigo bahkan melampaui panjang Iliad maupun Odyssey.

Selain La Galigo, sastra Bugis juga meliputi:
  • Elong - Puisi atau nyanyian liris berisi cinta, kerinduan, atau nasihat kehidupan.
  • Pau-pau ri Kadong - Pepatah yang padat makna, digunakan sebagai pedoman dalam bertutur, berperilaku, dan membangun hubungan sosial.
  • Paseng - Nasihat orang tua kepada anak, yang biasanya ringkas namun penuh nilai. Salah satu yang paling terkenal berbunyi:
    “Narekko mappoji narekko mattete, siri’mu temmappoji, temmattete.”
    Hidup atau mati, jagalah kehormatanmu; siri’ tidak akan mati bersamamu.
Ungkapan ini menegaskan bahwa siri’ adalah inti kehidupan, sesuatu yang lebih berharga dari harta, jabatan, maupun kekuasaan.

4. Bahasa Bugis di Era Modern: Antara Tantangan dan Harapan
Di tengah derasnya arus globalisasi, bahasa daerah menghadapi tantangan besar. Banyak anak muda Bugis lebih terbiasa menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa asing, sehingga Basa Ugi tidak lagi menjadi bahasa utama dalam percakapan sehari-hari.

Namun harapan tetap menyala. Berbagai upaya pelestarian terus dilakukan, antara lain:
  • penerapan muatan lokal di sekolah-sekolah,
  • festival budaya dan sastra daerah,
  • digitalisasi manuskrip Lontara,
  • penelitian akademik di universitas yang memiliki program studi Sastra Bugis-Makassar.
Upaya-upaya ini memastikan bahwa bahasa Bugis tetap hidup, beradaptasi, dan tetap relevan bagi generasi yang lahir di era teknologi.

5. Bahasa sebagai Penjaga Siri’ dan Pacce
Dalam budaya Bugis, kata-kata memiliki bobot moral. Bahasalah yang mengajarkan seseorang untuk berjanji, menghormati, meminta maaf, dan menjalin hubungan sosial dengan tulus.

Kesantunan berbicara (mappasengnge) bukan hanya aturan formal, tetapi refleksi dari ilmu, akhlak, dan empati (pacce) seseorang. Bahasa Bugis menjaga tali antara masa lalu dan masa kini; antara leluhur yang telah tiada dan generasi muda yang sedang tumbuh.

6. Bahasa yang Menyimpan Jiwa Laut dan Angin
Bahasa dan sastra Bugis adalah samudra makna luas, dalam, dan tak lekang dimakan zaman. Di setiap elong yang dinyanyikan, di setiap paseng yang disampaikan, dan di setiap halaman lontara yang usang, tersimpan kebijaksanaan yang tak pernah padam.

Selama lidah masih mengucapkan “Siri’ na Pacce”, selama generasi masih menjaga warisan bahasa leluhur, maka jiwa Bugis akan tetap hidup. Tegas seperti angin selatan, lembut seperti ombak Teluk Bone, dan kokoh seperti nilai kehormatan yang diwariskan turun-temurun.

Admin : Andi Ririn

    Bagikan ke Media Sosial :